Banyak yang bilang memotret pakai kamera
digital itu mudah, tidak perlu paham teori fotografi pun kita bisa
mendapatkan foto yang bagus. Sebaliknya dulu jaman awal ada kamera film,
pemakainya harus memahami eksposur dengan dimulai dari memilih jenis
ASA film, memakai kecepatan rana berapa dan bukaan lensa berapa. Kalau
salah, foto yang dihasilkan bisa terlalu terang atau malah terlalu
gelap. Pendapat demikian memang benar, tapi apakah kita selalu pasrah
pada kamera kita setiap saat kita memotret? Tentu kita perlu memahami
juga dasar eksposur sehingga bisa menentukan kapan waktunya membiarkan
kamera yang mengatur semuanya untuk kita, dan kapan waktunya kita yang
harus mengambil alih pengaturan eksposur tersebut.
Sebelum kami ulas lebih jauh, secara singkat eksposur itu dikendalikan oleh tiga elemen pokok :
- kecepatan rana (shutter speed)
- bukaan lensa (aperture/diafragma)
- sensitivitas sensor (ISO)
Kebanyakan kamera digital mengatur
ketiganya secara otomatis, tanpa perlu campur tangan pemakainya. Tidak
banyak kamera digital yang membolehkan pemakainya mengatur tiga komponen
di atas secara bebas, kalaupun ada umumnya hanya bisa mengatur nilai
ISO. Kamera yang lebih serius, dan tentunya semua kamera DSLR memang
lebih membebaskan pemakainya untuk berkreasi sesukanya dan mengatur
semuanya secara manual. Pertanyaannya, apakah saat ini masih dibutuhkan
pengetahuan kita untuk mengatur kamera secara manual disaat kamera
modern kini semakin canggih dan bisa memberi hasil yang baik dengan mode
otomatis?
Seputar metering
Tahukah
anda apa yang menjadi rahasia mengapa kamera dengan mode otomatisnya
itu seakan begitu cerdas bisa menghasilkan foto yang eksposurnya tepat
(tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap) meski dipakai dalam
berbagai kondisi pencahayaan, baik terang maupun redup? Rahasianya
adalah suatu proses yang dinamakan METERING, sebuah proses matematika
rumit yang terjadi di dalam prosesor kamera, hanya berlangsung
sepersekian detik dan proses ini dialami semua kamera digital dari
kamera DSLR sampai kamera ponsel. Dari hasil perhitungan tadi
ditentukanlah tiga komponen eksposur yaitu shutter, diafragma
dan ISO. Metering, sesuai namanya, artinya adalah pengukuran. Dalam hal
ini yang diukur tentu adalah cahaya yang masuk ke dalam sensor kamera.
Tujuannya supaya didapatkan eksposur yang tepat, setidaknya menurut
kamera.
Lalu apa salahnya proses diatas?
Simpel saja, tidak setiap saat kamera berhasil menentukan eksposur yang
tepat. Ada hal-hal khusus yang membuat kamera gagal melakukan pengukuran
cahaya. Ingat kalau cahaya yang masuk ke dalam kamera pada intinya
adalah cahaya yang datang dari objek, bukan cahaya yang mengenai objek.
Cahaya yang mengenai objek namanya incident light sedang yang dipantulkan oleh objek namanya reflected light.
Bukankah
keduanya sama? Tidak. Ingat kalau tiap benda punya sifat yang berbeda
dalam memantulkan cahaya. Kamera didesain untuk bekerja optimal bila
melakukan metering terhadap benda yang punya koefisien pantul sekitar
18% atau biasa disebut medium gray. Bila metering dilakukan
pada benda yang sangat menyerap cahaya atau sangat memantulkan cahaya,
maka metering akan meleset. Benda yang menyerap cahaya diantaranya benda
yang berwarna hitam, seperti kain hitam. Sedangkan yang memantulkan
seperti kaca, air, benda dari logam dan sebagainya. Setidaknya kita
harus tahu sebelum memotret benda-benda yang berpotensi menyerap atau
memantulkan cahaya, bahwa ada kemungkinan kamera akan salah dalam
menentukan eksposur yang tepat.
Bicara soal eksposur yang tepat menurut
kamera, mungkin anda akan penasaran bagaimana kamera bisa memiliki acuan
atau standar atau referensi saat menentukan eksposur? Mari kita
sederhanakan dulu logika metering. Bayangkan sebuah dunia hitam putih
seperti gambar di atas dimana warna hitam itu mewakili gelap, warna
putih mewakili terang dan warna abu-abu berada di tengah-tengah. Logika
metering akan menyatakan kalau foto dengan eksposur normal adalah yang
berada diantara hitam dan putih, alias abu-abu. Jadi apapun yang diukur
oleh kamera, prosesor di dalamnya akan mengarahkan pengaturan shutter,
apertur dan ISO supaya foto akan memiliki 0 Ev dengan acuan abu-abu
tadi.
Lebih
detilnya bisa dijelaskan seperti ini. Dalam merancang sistem algoritma
metering kamera, produsen kamera membuat sistem pembagian wilayah
pengukuran cahaya (zona/segmen) untuk mendapatkan sampel informasi
terang gelap dan memakai teknik perata-rataan dari hasil pengukuran (averaging), dimana masing-masing zona itu diukur terang gelapnya lalu dilakukanlah proses perata-rataan. Ada beberapa metode metering yang disediakan kamera untuk kita pilih, yaitu Matrix/Evaluative, Center Weighted dan Spot.
Umumnya dalam mayoritas pemakaian normal metode Matrix/Evaluative
lebih sering dipakai, karena dengan ini eksposur yang tepat didapat dari
perata-rataan seluruh bidang foto sehingga hasilnya akan menjadi middle gray atau middle tone. Bila hanya ingin melakukan pengukuran di sebuah titik kecil, bisa gunakan Spot
metering sehingga kamera akan mengukur di sebuah titik kecil dan tidak
peduli apakah area di luar titik itu terang atau gelap, yang penting
titik itu bisa menjadi sebuah middle tone.
Namun bahayanya disini, misalnya kita mengukur cahaya yang dipantulkan dari benda yang dominan hitam
(katakanlah orang hitam berbaju hitam dengan latar dinding yang hitam),
maka kamera akan menganggapnya sebagai perwujudan dari kondisi gelap,
dan kamera akan menaikan eksposur sehingga si orang hitam ini jadi
abu-abu. Yang terjadi selanjutnya, foto yang dihasilkan akan meleset
dalam hal warna karena tujuan kita mendapat foto yang serba hitam tadi
menjadi foto abu-abu.
Demikian juga sebaliknya, bila objek foto begitu dominan akan warna putih (misal beruang putih di padang es kutub utara), saat diukur oleh kamera maka kamera menyangka objek dihadapannya terlalu terang,
dan kamera akan menurunkan eksposur sehingga beruang putih ini menjadi
abu-abu. Kalau tidak percaya boleh buktikan sendiri. Dalam mode auto,
fotolah benda berwarna hitam total atau putih total dan lihat apakah
warna akhirnya?
Jadi metering kamera berpotensi gagal
saat memotret dalam kondisi tidak umum seperti banyak memantulkan
cahaya, banyak warna hitam atau putih. Metering juga akan salah bila
kita ingin mengambil foto yang dramatis seperti sunset atau matahari
terbenam.
Bila metering kamera tidak memberikan
foto dengan eksposur yang sesuai keinginan kita, ada dua hal yang bisa
kita lakukan. Cara termudah adalah lakukan kompensasi eksposur. Metoda
ini cukup simpel dan bisa dilakukan di segala macam kamera termasuk
kamera ponsel. Caranya dengan menaikkan Ev ke arah positif
untuk lebih terang dan ke arah negatif untuk lebih gelap. Namun ada cara
lain yang lebih sulit tapi menantang, sekaligus melatih kemampuan kita
dalam menentukan eksposur yang tepat, yaitu dengan cara manual.
Kendali eksposur secara manual
Dalam mengatur eksposur secara manual, bukaan diafragma dan kecepatan shutter
memegang peranan utama dalam menentukan nilai eksposur. Diafragma
menentukan seberapa banyak intensitas cahaya yang dibolehkan untuk masuk
ke kamera secara bersamaan, sementara kecepatan shutter menentukan seberapa lama cahaya mengenai sensor sebelum foto diambil. Sebagai pedoman dalam fotografi, dikenal istilah f-stop, yang intinya menyatakan seberapa banyak penambahan atau pengurangan intensitas cahaya yang memasuki kamera (Exposure value/Ev). Setiap kelipatan 1-stop artinya kita menambah cahaya dua kali lipat dari nilai stop sebelumnya, atau mengurangi cahaya setengah dari nilai stop sebelumnya.
Pengaturan bukaan diafragma
Untuk dapat mengatur banyak sedikitnya
cahaya yang masuk melalui lensa, diafragma pada lensa kamera bisa
membuka dengan besaran diameter yang bisa dirubah. Besar kecilnya bukaan
diafragma dinyatakan dalam f-number tertentu, dimana f-number kecil menyatakan bukaaan besar dan f-number
yang besar menyatakan bukaan kecil. Selain itu, secara karakteristik
optik lensa, bukaan besar akan membuat foto yang DOFnya sempit (background bisa blur), dan bukaan kecil akan membuat DOF lebar (background tajam).
Untuk itu pengaturan diafragma membawa dua keuntungan sekaligus, yaitu
mengatur intensitas cahaya yang masuk sekaligus mengatur kesan blur dari sebuah background.
Saat mengatur nilai diafragma (aperture), ingatlah bahwa setiap stop ditandai dengan nilai f-number tertentu yang digambarkan dalam deret berikut, urut dari yang besar hingga kecil :
bukaan semakin besar << f/1.4 – f/2 - f/2.8 – f/4 – f/5.6 – f/8 – f/11- f/16 – f/22 >> bukaan semakin kecil
Sebagai contoh :
- jika kita berpindah 1-stop dari f/2 ke f/2.8, maka kita akan mengurangi setengah intensitas cahaya yang masuk ke kamera
- jika kita berpindah 1-stop dari f/8 ke f/5.6, maka kita akan menambah intensitas cahaya yang masuk ke kamera dua kali lipat dari sebelumnya
Perhatikan kalau kamera modern umumnya
memberi keleluasaan untuk merubah diafragma di skala yang lebih kecil,
dalam hal ini perubahan f-stop dilakukan pada kelipatan 1/2 hingga 1/3
f-stop sehingga bisa didapat banyak sekali variasi eksposure yang bisa
didapat dari mengatur nilai diafragma. Sebagai contoh, diantara f/5.6
hingga f/8 bisa terdapat f/6.3 dan f/7.1 yang memiliki rentang 1/3 stop.
Pengaturan kecepatan shutter
Sama halnya dengan diafragma, setelan kecepatan shutter pun punya pedoman berupa deret yang mewakili 1-stop. Kecepatan buka tutupnya shutter ini
dinyatakan dalam satuan detik dan bisa diatur dari sangat cepat (misal
1/8000 detik) hingga sangat lambat (bisa sampai 10 detik). Bila cahaya
yang masuk ke kamera sangat banyak, gunakan shutter yang cepat, dan sebaliknya bila sedikit cahaya bisa gunakan shutter lambat. Tapi berhati-hatilah saat memakai shutter lambat karena berpotensi membuat foto yang tidak tajam karena getaran tangan atau obyek yang difoto bergerak.
Berikut adalah variasi kecepatan shutter dengan kelipatan 1-stop, urut dari yang lambat hingga yang cepat ( d = detik ) :
shutter semakin lambat << 1d – 1/2d - 1/4d – 1/8d – 1/15d - 1/30d – 1/60d – 1/125d – 1/250d – 1/500d –1/1000d >> shutter semakin cepat
Sebagai contoh :
- jika kita berpindah 1-stop dari 1 detik ke 1/2 detik, maka kita akan mengurangi setengah intensitas cahaya yang masuk ke kamera
- jika kita berpindah 1-stop dari 1/60 detik ke 1/30 detik, maka kita akan menambah intensitas cahaya yang masuk ke kamera dua kali lipat dari sebelumnya
Pengaturan ISO
Sebagai komponen pelengkap, sensitivitas
sensor atau ISO juga memegang peranan dalam menentukan eksposur,
terutama bila kita sudah tidak lagi bisa merubah shutter dan apertur
karena alasan tertentu. Umumnya terjadi saat dalam kondisi kurang
cahaya, kita tidak ingin memilih kecepatan shutter yang terlalu
lambat karena takut goyang, atau kita tidak bisa membuka diafragma
lensa lebih besar lagi (karena keterbatasan lensa) maka bisa diupayakan
dengan menaikkan ISO. ISO pun memiliki kelipatan dimana setiap kelipatan
ISO dua kalinya maka akan menaikkan eksposur 1 stop.
Rentang ISO adalah seperti deret di bawah ini (makin tinggi makin sensitif terhadap cahaya, tapi hasil foto semakin noise) :
ISO 50 - 100 - 200 - 400 - 800 - 1600 - 3200 - 6400 - 12800 - 25600Untuk itu kebanyakan nilai ISO yang dipilih adalah yang di angka kecil supaya hasil fotonya rendah noise, tapi bila terpaksa ISO bisa dinaikkan sampai batas tertentu untuk mendapat eksposur yang diinginkan.
Kesimpulan
Dengan semakin canggihnya teknologi
kamera jaman sekarang, metering menjadi hal yang tidak perlu kita
risaukan. Dalam mode auto, kamera bertugas dengan sangat baik dalam
menjamin hasil foto yang dibuatnya akan memiliki eksposur yang tepat.
Namun sebagai pemakai kamera, tidak boleh juga kita sepenuhnya pasrah
pada nilai eksposur yang diberikan oleh kamera. Kenali keterbatasan
kamera saat kita berhadapan dengan situasi tidak umum seperti obyek yang
sangat memantulkan atau sangat menyerap cahaya, terlalu kontras dan
terlalu banyak unsur hitam atau putihnya. Bila hasil foto yang didapat
belum memuaskan, gunakan kompensasi eksposur dan ulangi pemotretan, lalu
bandingkan hasilnya. Akan lebih baik kita sekaligus berlatih (bila
kameranya memungkinkan) memakai mode manual dengan mengatur sendiri
nilai shutter, apertur dan ISO.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar